Sejak ditemukan hampir dua abad silam, bola lampu yang menerangi bumi
terus berkembang. Tuntutan hemat energi memicu inovasi hingga menghasilkan
lampu yang kian efisien memanfaatkan energi. Fungsinya pun tak lagi menerangi
rumah atau jalan, tetapi meluas, termasuk budidaya tanaman.
Apalagi Sekarang yang memenagkan Nobel Fisika 2014 itu berbicara tentang
lampu. jadi betapa entingnya kan lampu.
Kali ini akan diceritakan evolusi bola lampu.
1. Lampu Pijar
Cahaya lampu pijar berasal dari nyala filamen, kawat tipis dari tungsten.
Saat lampu dinyalakan, arus listrik memanaskan filamen hingga suhu 2.200
derajat celsius hingga filamen berpijar. Supaya panas terkonsentrasi di sekitar
filamen, tungsten ditempatkan dalam bola lampu kedap udara.
”Karena cahaya lampu dari proses pemanasan, kestabilan arus listrik
menentukan nyala lampu,”. Tegangan listrik turun, suplai arus berkurang, lampu
meredup. Pun sebaliknya.
Suhu pemanasan yang tak terlalu tinggi membuat pancaran sinar berwarna
kuning. Intensitas cahaya atau tingkat kecerlangan lampu pijar hanya 15 lumen
per watt. Akibatnya, untuk menghasilkan cahaya lebih terang butuh energi
listrik besar.
Namun, sebesar apa pun arus listrik yang diberikan, lebih dari 90
persennya diubah jadi panas. Hanya 5 persen listrik yang diubah jadi cahaya.
Itu jelas tidak efisien dan boros listrik.
Pemanasan filamen terus-menerus,, akan mengikis permukaan tungsten hingga
penampang kawat mengecil hingga filamen putus dan lampu tak bisa digunakan
lagi. Mudah putusnya filamen membuat usia hidup lampu hanya 1.000 jam atau
empat bulan untuk pemakaian 8 jam per hari.
2. Lampu pendar
Sifat boros lampu pijar mendorong ilmuwan dan perekayasa mencari bola
lampu baru lebih efisien terkait energi. Lahirlah lampu pendar atau lampu
fluorosensi pada 1938.
Lampu ini paling banyak digunakan di Indonesia, baik tabung (tubular
lamp/TL) maupun kompak. Sebagian masyarakat menyebutnya lampu neon karena
banyak digunakan pada neon box atau papan reklame.
Sejatinya, kedua lampu itu berbeda jenis. Proses menghasilkan cahaya
keduanya sama, lewat proses eksitasi elektron. Namun, kandungan gas yang
dieksitasi berbeda. Eksitasi pada lampu neon hanya sekali, sedangkan lampu
pendar dua kali.
Saat lampu dialiri listrik, elektroda pada ujung tabung lampu pendar
memancarkan elektron bebas. Elektron itu akan mengionisasi gas argon dalam
tabung bertekanan rendah.
Arus listrik membuat elektron bebas dan ion gas argon bergerak cepat dari
satu elektroda ke elektroda lain. Arus listrik juga mengubah merkuri dalam
tabung dari cair jadi gas. Proses itu akan membuat partikel bergerak (elektron
dan ion) bertabrakan dengan atom merkuri. Akibatnya, elektron merkuri
tereksitasi, turun ke tingkat energi lebih stabil dan melepaskan energi dalam
bentuk foton atau cahaya ultraviolet.
Selanjutnya, cahaya ultraviolet akan mengeksitasi atom fosfor pada lapisan
dalam tabung. Fosfor itu pula yang memberi warna putih tabung. Pada proses
eksitasi lanjutan itu akan dihasilkan cahaya tampak putih terlihat mata.
”Variasi cahaya lampu pendar bisa diatur berdasarkan komposisi fosfor,”
ujarnya.
Proses eksitasi lanjutan itu tak ada pada lampu neon. Gas yang digunakan
pun tidak hanya argon, tapi juga neon dan kripton. Neon menghasilkan cahaya
merah, sedang gas lain menghasilkan warna berbeda.
Lampu pendar menghasilkan intensitas cahaya lebih baik dari lampu pijar, 67
lumen per watt. Pengubahan cahaya ultraviolet menjadi cahaya tampak juga
menghasilkan panas yang hilang ke lingkungan, tapi jumlahnya lebih sedikit.
Usia rata-rata lampu lebih lama, 8.500-10.000 jam.
3. Lampu LED
Meski lebih hemat dari lampu pijar, keberadaan merkuri yang merupakan
logam berat dalam lampu pendar jadi masalah baru karena merusak lingkungan dan
mengganggu kesehatan. Tuntutan ada lampu yang kian hemat tetap ada. Selain itu,
lampu masa depan pun harus bisa diaplikasikan lebih luas.
Lahirlah lampu berteknologi dioda pemancar cahaya (light-emitting
diode/LED). Penelitian lampu LED dimulai 1960-an dengan menghasilkan lampu LED
merah dan hijau. Baru pada 1990-an, LED biru hadir. Dengan temuan LED biru, LED
putih bisa dibuat.
Temuan atas LED biru itulah yang membuat ilmuwan Jepang Isamu Akasaki,
Hiroshi Amano, dan Shuji Nakamura dianugerahi hadiah Nobel Fisika 2014.
Sumber pencahayaan lampu LED berasal dari dioda berupa semikonduktor dari
material padat dan mampu mengalirkan arus listrik. Energi yang dilepaskan dari
gerakan elektron dalam semikondutor itulah yang akan menghasilkan cahaya.
Saat listrik dialirkan, elektron bebas dari bagian negatif semikonduktor
yang diperkaya elektron bebas mengalir ke bagian positif. Saat bersamaan,
lubang elektron pada bagian positif bergerak ke bagian negatif.
Gerakan itu membuat elektron bebas jatuh ke lubang elektron. Akibatnya,
elektron turun ke tingkat energi yang lebih stabil dan melepaskan foton/cahaya.
Kian tinggi energi foton yang dihasilkan, cahaya yang dihasilkan kian tinggi
frekuensinya atau panjang gelombangnya.
Oleh karena itu, warna cahaya yang diperoleh lampu LED bergantung pada
campuran materi penyusun diodanya. Misalnya, campuran aluminium, galium, dan
arsenik akan menghasilkan cahaya merah. Perpaduan indium, galium, dan nitrida
memberi warna biru.
Dibandingkan ukuran pembangkit cahaya lampu pijar dan pendar, ukuran LED
sangat kecil, luasnya kurang dari 1 milimeter persegi. ”Semakin besar LED,
susunan atomnya makin mudah rusak sehingga sifat elektriknya berkurang,”.
Oleh karena itu, untuk membuat sebuah bola lampu umumnya tersusun
beberapa LED. Ukuran kecil juga memungkinkan lampu LED ditempatkan pada
berbagai sirkuit elektronik untuk beragam pencahayaan.
Tak hanya penerangan rumah atau jalan, rangkaian LED juga dimanfaatkan
untuk pencahayaan beragam alat elektronik, mulai pengendali jarak jauh, layar
monitor, telepon pintar, hingga televisi. Bahkan, LED juga bisa sebagai
pengganti sinar matahari untuk menumbuhkan tanaman dalam ruang.
Lebih dari 50 persen energi listrik pada LED diubah jadi cahaya. Itu
membuat LED lebih efisien dibandingkan lampu pendar, apalagi lampu pijar.
Setiap 1 watt listrik mampu menghasilkan cahaya berintensitas 70-100 lumen.
Usia pakai bisa lebih lama hingga 50.000 jam.
Proses produksi yang rumit membuat harga lampu LED masih mahal. Namun,
jika dihitung biaya total pembelian dan pemakaian listrik, penggunaan LED tetap
lebih murah.
Selain itu, LED juga rentan dengan temperatur tinggi yang akan membuatnya
terlalu panas dan gagal beroperasi. Oleh karena itu, LED butuh arus listrik
stabil dan pemasangan sirkuit listrik secara tepat.
4. LED Biru
Akasaki, Amano, dan Nakamura menemukan LED biru lewat riset terpisah pada
awal era 1990-an. Inovasi mereka terus disempurnakan sehingga menghasilkan
lampu LED yang kini makin efisien.
Versi terbaru lampu dengan teknologi LED biru saat ini mampu menghasilkan
penerangan 300 luminasi/Watt. Terang yang dihasilkan oleh lampu itu setara
dengan 16 lampu pijar dan 70 lampu fluorensens.
Dengan seperempat konsumsi listrik dunia bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan penerangan, maka inovasi ketiga penerima nobel ini berguna untuk
menghemat sumber energi yang dipakai untuk membangkitkan listrik.
Konsumsi material untuk lampu LED biru juga lebih sedikit. Sebabnya,
lampu LED biru bisa bertahan hingga 100.000 jam sementara lampu pijar hanya
1.000 jam dan lampu fluorensens 10.000 jam.